Semalam kau datang lewat mimpi.
Padahal sudah lama kita tidak saling sapa.
Kau dengan dunia barumu, aku juga.
Kau masih ingat aku takut hantu.
Sifat jahilmu kembali muncul, kau ambil kain putih, lalu kau tutupi kepalamu.
Dengan ekspresi konyol yang menurutku tidak seram, hanya saja keadaan saat itu malam hari, membuat bulu kudukku berdiri.
Kau mendekat kepadaku, berharap aku teriak atau kabur darimu.
Tapi tidak, aku justru memasang wajah datar menanggapi tingkah lakumu. Padahal, jantung seperti ingin melompat keluar.
"Deg-degan ya?" tebakannya tepat sasaran.
"Enggak, jayus banget," kilahku.
"Cih, berkilah. Masih aja takut hantu. Padahal udah aku motivasi berkali-kali lawan rasa takutmu."
"Siapa yang takut hantu??" Pertanyaan ini terdengar seperti aku menantang ya? Dasar.
"Padahal hantu juga males deketin kamu, mukamu kan gak ada ekspresinya. Justru bisa jadi mereka yang takut kamu."
Aku memutar bola mataku malas, mengalihkan wajah dari tatapannya yang seperti merendahkan orang itu.
"Kalau kamu masih takut hantu, berarti kamu takut padaku dong?"
"Maksudmu, kamu hantu?" Aku menahan tawaku.
Kini dia yang menatapku datar, sambil menyipitkan matanya, dan mengerucutkan bibirnya.
Setelah itu aku terbangun dari tidurku. Rasa rindu tiba-tiba muncul, bersama dengan pertanyaan apa maksud dari mimpi itu.
Hari ini kuliahku berjalan seperti biasanya. Tapi saat mata kuliah kedua, dosennya tidak masuk, alhasil waktu kosong itu aku gunakan untuk berpikir, iya benar, masih tentang apa maksud dari mimpi semalam.
Aku asik melamun, sambil kembali mengingat mimpi yang sudah pudar itu. Tanpa sadar ponselku terus bergetar tak henti.
"Aku ramal hapemu ramai sama grup." Suara wanita membuyarkan lamunanku.
Aku menatapnya bingung, ia menunjuk ponselku yang ada di atas meja dengan dagu, dan aku segera mengikuti arahnya.
Ku raih ponselku, lebih dari lima puluh pesan dan beberapa panggilan tak terjawab dari temanku.
Ada apa ya? Tidak seperti biasanya.
"Bagaimana ramalanku? Jangan ragu bilang kalau itu benar." Wanita tadi yang merupakan teman dekatku masih duduk di kursi sampingku.
"Kalau salah? Teraktir aku bakso ya?" godaku.
Ia berdecih, "Tijus aja kek, aku lagi miskin."
"Emang biasanya kaya?"
"Ya enggak, haha,"
"Eh, itu hapemu gak mau liat kenapa banyak chat?"
Oh iya aku sampai lupa. Aku lihat semua pesan yang masuk. Jariku berhenti, saat membaca salah satu pesan dari seorang teman lamaku. Selain jari tanganku, atmosfer sekelilingku juga ikut berubah, seperti semua suara hilang, berganti keheningan, dan semua oksigen berkurang, membuatku sesak nafas. Semua tulang di tubuhku seperti meremuk dengan kompak, aku tidak berdaya, walaupun hanya untuk mengangkat kepala.
Ku letakkan kepalaku di atas meja. Maaf meja, kamu basah karena tersiram air mataku.
"Kamu kenapa??" tanya teman di sebelahku dengan panik.
Aku sedang tidak baik-baik saja. Aku ingin berkata seperti itu, tapi suaraku seperti terhalang tebing kokoh. Aku hanya bisa menjawab dengan air mata.
Teman-teman, dia yang semalam hadir dalam mimpiku, ternyata hari ini pergi dari duniaku. Akhirnya aku tahu arti dari mimpi semalam, ucapan perpisahan secara tidak langsung, sangat halus sekali, sampai aku saja menanggapinya di mimpi itu dengan tawa.
Semua kenangan terakhir bersamanya seperti otomatis terputar di otakku. Di dalam kereta yang ramai, ia duduk di sebelahku, sambil meminjam ponselku ia tak berhenti tersenyum.
"Ngapain nih? Aneh-aneh deh, males lah," kataku sambil mencoba merebut kembali ponselku dari tangannya.
Ia menghindar, "Enggak aneh-aneh kok. Ini tuh penting banget."
"Penting apaan?"
Ia menatap tepat ke dalam mataku. Dengan wajah seriusnya, ia berkata, "Kalau nanti suatu hari kamu merindukan seseorang yang sudah tidak lagi berada di duniamu. Selain do'a, foto adalah cara jitu melepas rindu."
Aku terdiam, bingung kenapa dia tiba-tiba berkata seperti itu?
"Jadi aku kirim semua foto kita berdua, hehe. Pinter kan? Sama-sama."
"Hah? Apaansih, emang kita punya foto berdua??"
Karena seingatku, kami tidak pernah foto hanya berdua. Eh, pernah deh, hanya sekali, itu juga karena mendapat tantangan dari teman sekelas kami.
"Maaf ya, aku ini orangnya sangat inisiatif. Jadi setiap ada foto bersama, dimana ada kamu, disitu pasti ada aku. Posisinya juga dekat, jadi kalau mau di-crop gak usah ribet-ribet." Ia memperlihatkan salah satu foto kami hasil crop-nya.
Aku menutup mulutku, andai jarak kami dekat, aku pasti akan berlari menuju pemakamanmu.
Padahal sudah lama kita tidak saling sapa.
Kau dengan dunia barumu, aku juga.
Kau masih ingat aku takut hantu.
Sifat jahilmu kembali muncul, kau ambil kain putih, lalu kau tutupi kepalamu.
Dengan ekspresi konyol yang menurutku tidak seram, hanya saja keadaan saat itu malam hari, membuat bulu kudukku berdiri.
Kau mendekat kepadaku, berharap aku teriak atau kabur darimu.
Tapi tidak, aku justru memasang wajah datar menanggapi tingkah lakumu. Padahal, jantung seperti ingin melompat keluar.
"Deg-degan ya?" tebakannya tepat sasaran.
"Enggak, jayus banget," kilahku.
"Cih, berkilah. Masih aja takut hantu. Padahal udah aku motivasi berkali-kali lawan rasa takutmu."
"Siapa yang takut hantu??" Pertanyaan ini terdengar seperti aku menantang ya? Dasar.
"Padahal hantu juga males deketin kamu, mukamu kan gak ada ekspresinya. Justru bisa jadi mereka yang takut kamu."
Aku memutar bola mataku malas, mengalihkan wajah dari tatapannya yang seperti merendahkan orang itu.
"Kalau kamu masih takut hantu, berarti kamu takut padaku dong?"
"Maksudmu, kamu hantu?" Aku menahan tawaku.
Kini dia yang menatapku datar, sambil menyipitkan matanya, dan mengerucutkan bibirnya.
Setelah itu aku terbangun dari tidurku. Rasa rindu tiba-tiba muncul, bersama dengan pertanyaan apa maksud dari mimpi itu.
Hari ini kuliahku berjalan seperti biasanya. Tapi saat mata kuliah kedua, dosennya tidak masuk, alhasil waktu kosong itu aku gunakan untuk berpikir, iya benar, masih tentang apa maksud dari mimpi semalam.
Aku asik melamun, sambil kembali mengingat mimpi yang sudah pudar itu. Tanpa sadar ponselku terus bergetar tak henti.
"Aku ramal hapemu ramai sama grup." Suara wanita membuyarkan lamunanku.
Aku menatapnya bingung, ia menunjuk ponselku yang ada di atas meja dengan dagu, dan aku segera mengikuti arahnya.
Ku raih ponselku, lebih dari lima puluh pesan dan beberapa panggilan tak terjawab dari temanku.
Ada apa ya? Tidak seperti biasanya.
"Bagaimana ramalanku? Jangan ragu bilang kalau itu benar." Wanita tadi yang merupakan teman dekatku masih duduk di kursi sampingku.
"Kalau salah? Teraktir aku bakso ya?" godaku.
Ia berdecih, "Tijus aja kek, aku lagi miskin."
"Emang biasanya kaya?"
"Ya enggak, haha,"
"Eh, itu hapemu gak mau liat kenapa banyak chat?"
Oh iya aku sampai lupa. Aku lihat semua pesan yang masuk. Jariku berhenti, saat membaca salah satu pesan dari seorang teman lamaku. Selain jari tanganku, atmosfer sekelilingku juga ikut berubah, seperti semua suara hilang, berganti keheningan, dan semua oksigen berkurang, membuatku sesak nafas. Semua tulang di tubuhku seperti meremuk dengan kompak, aku tidak berdaya, walaupun hanya untuk mengangkat kepala.
Ku letakkan kepalaku di atas meja. Maaf meja, kamu basah karena tersiram air mataku.
"Kamu kenapa??" tanya teman di sebelahku dengan panik.
Aku sedang tidak baik-baik saja. Aku ingin berkata seperti itu, tapi suaraku seperti terhalang tebing kokoh. Aku hanya bisa menjawab dengan air mata.
Teman-teman, dia yang semalam hadir dalam mimpiku, ternyata hari ini pergi dari duniaku. Akhirnya aku tahu arti dari mimpi semalam, ucapan perpisahan secara tidak langsung, sangat halus sekali, sampai aku saja menanggapinya di mimpi itu dengan tawa.
Semua kenangan terakhir bersamanya seperti otomatis terputar di otakku. Di dalam kereta yang ramai, ia duduk di sebelahku, sambil meminjam ponselku ia tak berhenti tersenyum.
"Ngapain nih? Aneh-aneh deh, males lah," kataku sambil mencoba merebut kembali ponselku dari tangannya.
Ia menghindar, "Enggak aneh-aneh kok. Ini tuh penting banget."
"Penting apaan?"
Ia menatap tepat ke dalam mataku. Dengan wajah seriusnya, ia berkata, "Kalau nanti suatu hari kamu merindukan seseorang yang sudah tidak lagi berada di duniamu. Selain do'a, foto adalah cara jitu melepas rindu."
Aku terdiam, bingung kenapa dia tiba-tiba berkata seperti itu?
"Jadi aku kirim semua foto kita berdua, hehe. Pinter kan? Sama-sama."
"Hah? Apaansih, emang kita punya foto berdua??"
Karena seingatku, kami tidak pernah foto hanya berdua. Eh, pernah deh, hanya sekali, itu juga karena mendapat tantangan dari teman sekelas kami.
"Maaf ya, aku ini orangnya sangat inisiatif. Jadi setiap ada foto bersama, dimana ada kamu, disitu pasti ada aku. Posisinya juga dekat, jadi kalau mau di-crop gak usah ribet-ribet." Ia memperlihatkan salah satu foto kami hasil crop-nya.
Aku menutup mulutku, andai jarak kami dekat, aku pasti akan berlari menuju pemakamanmu.
Jadi ini kisah nyata re? Wkwk
BalasHapusSekian persennya wkwkwk
HapusKak aku salah paham nih wkwk gak tau jenis kelamin orang yg dateng ke mimpi :v
BalasHapusBuat apaan? Wkwkwk apa yg kamu bayangin waktu baca, yaudah jadiin wkwk maksudnya yaudah itu dia. Kan kamu yg mainin cerita ini dalem pikiran kamu :")
HapusKalo dari sudut pandang penulis dia cowok/cewek?
HapusDia cwk
Hapus