Setiap menjelang fajar aku selalu menyempatkan diri untuk berjalan keliling taman dekat rumahku, menikmati fajar yang sangat indah. Dengan menaiki sepeda aku berkeliling taman sambil memasang headset di telinga, memutar lagu yang aku suka. Oh iya, namaku…
“Aw…”
Ketika sedang asik asiknya aku menikmati fajar ini, ada sebuah bola
basket yang entah dari mana asalnya mengenai
kepalaku, sehigga aku terjatuh dari sepeda, aku tersungkur, telapak
tangan, siku, kepalaku luka terkena batu yang ada tepat di tempat aku
terjatuh.
“Maaf ya Maaf gue gak liat kalau
ada orang.”
Aku mendongak melihat wajah
orang yang sudah membuatku terjatuh, seorang cowok memakai baju basket bernomor
punggung 3 tengah berdiri menatapku kasihan.
“Gak liat? Emangnya gue gaib?”
cibirku.
“Ayo sini gue bantu,” Dia
menjulurkan tangannya.
“Gak usah! Gue bisa sendiri.” Aku
langsung berdiri menuntun sepedaku menuju salah satu bangku yang ada di taman.
Membersihkan lukaku dengan air yang aku bawa, setelah aku yakin semua luka
sudah bersih, aku kembali mengayuh sepedaku mengelilingi taman.
Tapi, kakiku terasa sangat sakit
seperti terkilir, akhirnya aku memutuskan untuk berhenti sejenak di sebuah kayu
panjang yang ada di tepi danau taman
itu, aku menduduki kayu panjang itu sambil membalut luka yang ada di lututku
menggunakan plaster luka yang terselip di keranjang sepedaku.
“I’d jump in front of a train
for ya, you know I’d do anything for ya..” Lirik lagu Bruno Mars yang berjudul
Grenade terus aku senandungkan, terasa nyaman, damai disini.
“Suka lagu Bruno Mars juga?”
“Kyaaa…” Aku yang sedang
memejamkan mata terkejut mendengar suara yang datang tiba-tiba, sehingga aku
terjatuh dari atas kayu itu saat melihat sudah ada orang berdiri tepat di
belakangku.
“Aduh, maaf maaf, kok lo suka
banget jatuh sih?”
Ternyata orang itu adalah cowok
yang tadi membuatku jatuh dari sepeda, kini dia membantuku berdiri, karena
kakiku benar-benar terkilir dan rasanya sakit sekali, sampai berdiri saja aku
tidak kuat.
“Gue janji, bakalan ngobatin
semua luka lo sampai sembuh,” ujarnya.
“Lagian lo kenapa ada di sini
sih? Nyebelin!” eluhku.
“Gue tadi mau cuci kaki, habisan
kaki gue kotor,” jawabnya. “Btw, lo suka lagu Bruno Mars juga?”
Aku mengangguk. “Iya.”
“Sama dong kalau gitu, lagu apa
yang paling lo suka?”
“When I Was Your Man.”
“Wah, sama lagi dong, gue juga
suka banget sama lagu itu, menyentuh banget, haha.”
“Take you to every party cause
all you wanted to do was dance.”
Aku mencoba menyanyikan salah
satu lirik lagu When I Was Your Man dari Bruno Mars.
“Now My baby dancing, but she dancing with another man.” Dia melanjutkan
lirik lagu yang aku nyanyikan.
Setelah itu kami tertawa
bersama.
“Oh iya, kita belum kenalan,”
jedaku. “Gue Sky”
“Gue Fajar.” Dia tersenyum.
“Fajar di Langit,” ucapku sambil tertawa. Dia pun ikut tertawa mendengar
ucapanku sambil menggelengkan kepalanya.
“Bentar ya, pegangin basket gue dulu.” Dia berlari entah kemana, menjauh
dariku.
Tak lama menunggu, dia datang
membawa botol yang berisi air dingin dan kotak p3k.
“Lo dari mana Jar?” tanyaku.
“Dari rumah, ngambil ini buat
ngobatin luka lo,” jawabnya.
“Rumah lo deket dari sini?”
Dia mengangguk sebagai jawaban,
perlahan dia menutup luka yang ada di kepala, tangan, kaki dengan plester luka
yang dia bawa, dia juga mengompres kakiku yang kini sudah biru karena
terkilir.
“Lo sendirian?” tanyanya.
“Iya, lo?”
“Sama kaya lo, gue suka pagi-pagi main basket disini.”
“Gue juga suka kelilng taman
naik sepeda setiap fajar.”
Dia menatapku sambil tersenyum.
Fajar, semenjak itu kita sering
bertemu. Kadang main basket bardua, berkeliling taman naik sepeda berdua,
bercanda, tertawa, bercerita, bernyanyi. Senyumnya, tawanya, membuat hari ku
kini terasa berbeda, warna warni, seperti warna pelangi dilangit, aku selalu
nyaman bila berada di dekatnya.
Tak kusangka, dia yang membuat luka di kepala, tangan dan kaki, sudah membuatku jatuh hati, jatuh hati padanya. Tak terasa, sudah dua minggu kita kenal dan bermain bersama. Minggu ketiga, dia tidak pernah menampakkan dirinya lagi selama seminggu ini, seminggu hati dan hariku terasa sunyi, karena Fajar tak bersamaku.
Ternyata Fajar sakit, aku baru tahu kalau dia terkena kanker darah,
penyakit itu sudah menggerogoti tubuhnya selama 13 tahun, Ya tuhan aku baru saja mulai mencintainya, tolong sembuhkan dia. Minggu ke empat, seperti biasa, setiap fajar
aku selalu pergi ke taman, melihat fajar yang menghiasi langit, sehingga langit
begitu indah saat ini.
“Nih buat lo.” Seseorang memberiku setangkai bunga mawar, orang itu tidak
ku kenal.
“Dari siapa?” tanyaku bingung.
“Gak tau dah, liat aja di kertasnya.” Aku menerima bunga itu, membaca isi
kertas yang terselip di antara daun.
`Lapangan Baket` hanya kalimat
itu yang tertulis di kertas, membuatku semakin bingung. Akhirnya aku memutuskan
untuk mengikuti teka teki ini, aku pergi menuju lapangan basket, di lapangan
basket tidak ada siapa-siapa, hanya ada kertas yang di atasnya ada kotak
berbentuk hati yang tergeletak di atas bangku di pinggir lapangan.
Dengan hati-hati aku menghampiri itu, karena aku yakin kalau itu teka
tekinya. Setelah ku ambil kertasnya, kubaca tulisannya `Kayu panjang tepi
danau` lalu aku buka kotak yang tadi ada di atasnya. Ternyata isinya coklat.
Aku berjalan menuju kayu panjang yang ada di tepi danau, disana aku
melihat seseorang sedang duduk di kayu itu, perlahan aku menghampirinya. Dari
belakang sosoknya tidak asing bagiku.
“Fajar?”
Betapa terkejutnya aku saat melihat orang itu adalah Fajar, cowok yang
selama ini aku rindukan. Jadi ini semua Fajar yang ngerencanain?
“Ini semua gue yang ngerencanain buat lo, maaf udah bikin lo bingung.” Terukir senyum dari bibirnya yang sangat pucat.
“Iya Jar makasih ya, sweet banget, gue suka. Btw lo udah sembuh? Lo
pucat banget Jar, lo kenapa gak dirumah aja istirahat?”
“Gue rindu liat langit.”
Langit?
Aku duduk di sampingnya, menyenderkan kepalaku pada bahu Fajar,
kenyamanan yang sangat aku rindukan. Mengingat penyakitnya, rasanya aku takut,
takut kehilangan Fajar, tak terasa rasa takut itu membuat mataku memanas dan
air mataku turun.
“Sky, lo nangis?” tanya Fajar.
“Gue takut kehilangan lo Jar,” kataku lirih.
“Gak usah takut Sky, gue tetep
sayang sama lo dimana pun gue, dan apapun keadaan gue, lo jangan sedih ya.” Dia
batuk. “Gue ada hadiah buat lo.” Fajar menyerahkan sebuah usb kepadaku.
“Apa ini?” tanyaku bingung.
“Liat aja di pc lo, jangan nangis ya.” Tangan kirinya mengusap air mataku
yang sudah membasahi pipi.
Dia tersenyum, “Gue akan terus sayang sama lo, promise.” Ia mengangkat jari kelingkingnya ke udara.
Aku menatap wajah pucatnya, sangat pucat, bibirnya kini berwarna biru ke
ungu-unguan, tak lama ada darah keluar dari hidung dan mulutnya ketika dia batuk.
Ya tuhan, selamatkanlah dia.
“Fajar?”
Aku terus menggoyangkan tubuhnya, kini matanya sudah tertutup dan
tubuhnya sangat lemas.
“Jar plis jangan pergi.”
Ya tuhan, dia sudah pergi.
Hari pemakaman Fajar, setelah pulang dari pemakaman Fajar, aku menuju kayu panjang tepi danau sambil membawa notebook, untuk melihat isi usb itu. Setelah aku mengeceknya ternyata isi usb itu adalah sebuah video perpisahan dari Fajar untukku, sebelum video itu habis air mataku sudah menetes membasahi pipi. Kenapa fajar harus datang untuk menghiasi langit sehingga langit terlihat begitu indah, kalau akhirnya dia akan pergi meninggalkan langit untuk waktu yang lama?
Terimakasih Fajar, kau satu-satunya yang akan selalu aku rindukan setiap fajar tiba. Tenanglah disana, aku akan selalu mengirimi do'a dari bawah langit.
Komentar
Posting Komentar