Hai bung, aku menulis ini dari dalam ruang lingkup semesta.
Sambil menatap keluar jendela, melihat langit yang sedang mendekap senja dalam
pelukan. Mungkin saat ini langit sedang berusaha agar senja tidak pergi, ia
rela terlihat hitam agar senja tetap indah.
Sebelum aku pergi dari duniamu, aku ingin menyampaikan
banyak hal yang sepertinya sering memenuhi pikiranmu selama ini. Aku adalah
tempatmu bercerita, tapi tidak satupun ceritaku kau ketahui. Kita dekat, namun
sebenarnya kita sangat jauh. Coba aku pinta kau jelaskan tentangku, apakah akan
selama aku menjelaskan tentang dirimu?
Ingat tidak? Ketika tengah malam kau bercerita tentang
kejadian hari itu. Saat itu aku sedang merebahkan diri, mengamati langit kamar
sambil merasakan sakit. Aku mohon pada Tuhan, agar mengurangi rasa sakit untuk
beberapa menit saja, selama kau menghubungiku. Lalu ketika sambungan itu
terputus, Tuhan boleh kembalikan rasa sakit itu. Tuhan selalu mengabulkan
do'aku. Jadi kau tidak pernah tahu dan tidak pernah merasa bahwa aku lemah.
Ini alasanku tidak memberitahumu semua tentangku, karena
aku lemah. Tapi tetap ingin terlihat kuat di matamu. Aku ingin kau menemukanku
di garis terdepan, jadi telinga untuk mendengarkan semua keluh kesahmu, jadi
bahu untuk tempatmu bersandar, jadi mata untuk menuntunmu.
Tidak seperti di film-film. Aku tidak ingin kita
berjauh-jauhan di saat terakhirku, aku ingin kita tetap menjadi kita, sampai
aku tiada. Aku mohon, jangan pergi tinggalkan aku saat manusia di bumi ini
menjauh dariku, meninggalkanku sendiri. Sampai hanya jurnal ini yang masih
bersamaku.
Kalau kau sedang membaca jurnal ini. Ketahuilah, saat itu
aku menulisnya sambil berlinangan air mata, menangis tersedu-sedu. Sampai
hidungku banyak mengeluarkan cairan.
***
Pagi ini, aku sedang berada di dalam mobil yang akan
membawaku menuju rumah keduaku. Yaitu rumah sakit, sudah kuanggap sebagai rumah
kedua untukku. Aku menatap keluar jendela mobil. Banyak orang berlalu-lalang,
bersenda gurau, sangat menyayat hati. Seharusnya di umur ini, aku sedang
menikmati masa-masa tugas akhir. Berpusing-pusing ria dengan tidur yang tidak
tenang karena memikirkan skripsi.
Aku menghela nafas, Tuhan sangat begitu baik, tidak
membiarkan aku berpikir keras. Hari ini, sampai seminggu ke depan, aku akan
berada di ruang lingkup semesta yang sudah kuanggap rumah kedua itu. Aku akan
menjalani kemoterapi untuk kesekian kalinya. Kalau kamu bertanya aku sakit apa,
nanti kujelaskan di akhir ya.
Sebentar, ponselku berdering. Aku angkat telpon dulu ya,
ini telpon darimu.
"Halo?"
"Anggi, kamu
dimana sekarang?"
"Aku lagi di jalan nih Van, ada apa?"
"Mau kemana?
Mau hangout ya sama Ibu?"
Aku terkejut, kenapa kamu selalu berpikir positif tentangku
sih? Heran, hehe tapi tidak apa. Aku hanya bergumam, tidak menjawab benar atau
salah.
"Besok kamu
ada acara gak? Aku mau ngajak jalan-jalan."
Karena suara telpon cukup keras, Ibu dan Ayah yang duduk di
kursi depan dapat mendengar suaramu. Ibu menoleh ke arahku, menatapku sendu. Sebenarnya
besok jadwalku kemoterapi, tapi untukmu mungkin kemoterapiku bisa ku pending.
"Nggi," panggilmu.
"Iya Van? Bisa dong."
"Yasudah,
sampai jumpa besok di Taman biasa ya!"
Aku menutup sambungan telpon, tak terasa air mataku
menetes. Kembali aku menatap jendela mobil, menyeka air mata yang membasahi
pipi.
Laju mobil semakin pelan, masuk ke dalam basement rumah sakit.
Ketika pintu mobil terbuka, seorang suster sudah menungguku di pintu rumah
sakit dengan kursi roda di depannya. Aku dibawa masuk ke dalam sana, ke sebuah
ruang yang sering ku sebut ruang lingkup semesta. Segera aku mengganti pakaianku
dengan pakaian khusus perawatan.
Aku menatap Ayah dan Ibu bergantian, lalu mengangkat
tubuhku, beralih ke posisi duduk. Aku meraih jurnalku untuk kembali menulis.
Jurnalku ini akan kuberikan kepadamu, agar kamu tahu perasaanku.
"Besok kamu beneran mau pergi sama Revan?" tanya Ibu
ketika aku sedang menulis.
Aku melihat raut wajah Ibu yang berubah sendu. Aku
tersenyum, mencoba memberikan ketenangan kepada Ibu bahwa aku baik-baik saja. Aku
merebahkan tubuhku saja, tiba-tiba rasa sakit itu muncul. Tak apa semesta,
kalau kau ingin aku merasakan sakit cukuplah hari ini, untuk esok tolong biarkan
aku terlihat seperti sehat-sehat saja.
***
Hari ini adalah yang kemarin ku tunggu-tunggu. Sebentar ya,
aku sedang dirias wajahnya oleh Ibu. Ibuku ini juaranya dalam merias wajah. Aku
menatap wajahku di cermin yang ada di hadapanku. Sudah dipakaikan berbagai
macam liptint, lipcream, juga lipstik, tetap saja bibirku masih
terlihat pucat. Aku tersenyum menatap diriku sendiri walaupun mataku
dikelilingi warna hitam dan sedikit bengkak karena efek kemoterapi, juga
rambutku yang sudah mulai rontok, untung saja Ibu pakaikan aku wig, rambut palsu andalanku, ketika
rambutku sudah terlihat tipis dan hampir botak.
Aku berharap kamu tidak menyadari kalau mataku bengkak dan
menghitam walaupun sudah dioleskan make
up, aku akan mengenakan kacamata. Selama ini, kacamatalah yang membuat
semua itu tidak terlihat. Hmm, aku juga ingin terlihat cantik. Seperti wanita
lain yang pandai berdandan.
Aduh, hatiku sendu. Melihat wajah orang-orang yang aku
cintai dan aku sayangi menatapku sedih. Aku ingin menyingkat cerita. Bagaimana
kalau aku ceritakan asal mula penyakitku?
Baiklah, jadi begini Bung. Saat usiaku menginjak 18 tahun
aku mengalami kecelakaan di jalan. Karena lukaku tidak terlalu parah aku
putuskan untuk tidak memberi tahu Ayah atau Ibu. Setahun setelah itu aku
merasakan gejala yang aneh, sakit sekali dipinggulku. Sampai aku sering pingsan
di sekolah. Ibu membawaku ke rumah sakit, dan ternyata ovariumku pecah, sudah
parah sekali, sampai masuk kategori kista ganas. Aku tahu bagaimana efek dari
pecahnya ovarium. Aku tidak akan bisa memiliki keturunan. Apalagi kista ganas,
bisa menyebabkan kematian. Aku sedih dan menyesal, akhirnya aku harus rutin
kemoterapi.
Setelah itu, di usia 20 tahun, dokter menvonisku terkena
gagal jantung, karena efek kemoterapi. Hampir saja hidupku hancur, aku jadi
sering berpikir. Untuk apa aku hidup kalau hanya untuk merepotkan orang lain?
Aku tidak berguna. Aku menyusahkan dan merepotkan. Semua teman-temanku menjauh.
Tapi kenapa kau tetap di sampingku, Bung?
Sudah kuberi peringatan agar kau menjauh. Karena aku hanya akan merepotkanmu.
Tapi kau tidak juga pergi, apa karena kau belum tahu seperti apa keadaanku yang
sebenarnya? Apa kalau kau tahu kau juga akan pergi seperti yang lain?
Sudah 3 dokter yang berkata menyerah padaku. Baiklah, tak
apa. Hidup tak selalu tentang umur yang panjang dan sehat selalu. Ini adalah
jalan yang ditakdirkan Tuhan untukku. Rumit sekali tubuhku ini. Sekarang
jangankan bicara soal cinta, yang ada dipikiranku hanyalah bagaimana caranya
agar di sisa hidupku, aku menjadi bahagia.
Mengapa tidak melakukan transplantasi jantung? Tidak bisa,
karena masih ada kanker dalam tubuhku.
***
Bung, aku melihatmu berjalan ke
arahku sambil tersenyum. Aku menghela nafas, menatap langit biru, duduk di
sebelah pohon pucuk merah yang amat segar membuatku merasa iri. Aku iri dengan
pohon yang terlihat segar. Dengan terus menatapnya, tanpa sadar aku menemukan
daun yang berlubang, dan aku juga melihat ulat kecil disana. Astaga, pohon itu
terlihat segar tapi jika dilihat dari dekat, ia penuh lubang dan terdapat ulat
yang menggerogoti daunnya.
“Mentari sudah mau berubah menjadi senja tuh,” katamu saat
itu sambil duduk di sebelahku.
Kau memberiku sebuah mug kecil berisi eskrim rasa coklat.
Aku bersandar pada bahumu sambil mendengarkan cerita yang keluar dari mulutmu.
Katamu, aku adalah wanita kedua yang bisa masuk ke dalam hatimu selain Ibumu.
Kau sangat menyayangiku, sampai-sampai sangat takut kehilangan diriku. Tidak
tahu apa alasan dibalik semua itu, entah sejak kapan perasaan itu muncul, yang
jelas kau mencintaku seiring berjalannya waktu.
Saat itu
rasanya perkataanmu sangat memohok hatiku, satu sisi aku sangat senang karena
aku juga mencintaimu sejak pertama kali kita bertemu. Tapi di sisi lain, aku
sedih. Karena tahu waktuku akan usai, dan cerita kita harus berakhir di halaman
ini.
“Revan, tolong bilangin Ayah dan Ibuku, kalau aku sangat
menyayangi mereka,” kataku tiba-tiba menyela ceritamu. Karena aku merasakan
sesak bersamaan dengan keluarnya darah dari hidungku.
“Hanya Ayah Ibu?” tanyamu. Aku tersenyum, lalu terkekeh dan
menjawab,
“Tidak, kamu juga. Aku menyayangimu juga.”
“Akhirnya, aku pikir cintaku bertepuk sebelah tangan selama
ini, karena sikapmu yang tidak bisa ditebak.”
Maafkan aku Bung, aku tidak pandai dalam hal asmara.
Apalagi mengutarakan cinta, yang selalu kupikirkan adalah bagaimana caranya aku
sembuh dari semua penyakitku, walau aku tahu semua itu mustahil.
Sepertinya semesta sudah mengirim malaikat untuk
menjemputku. Tulang di tubuhku seperti hancur. Aku menangis, tapi tetap
berusaha tersenyum. Ku peluk pinggangmu, lalu kau menoleh ke arahku. Kau
terkejut melihat wajahku saat itu. Dengan sigap kau peluk wajahku cemas sambil
menangis. Kau terus bertanya ada apa dengan diriku, aku ingin menjawab, tapi
suaraku seperti hilang tiba-tiba. Aku mengeluarkan jurnal ini dari dalam tasku, lalu
aku berikan kepadamu. Setelah itu, dunia tidak tampak lagi di mataku. Wajahmu
hilang dari penglihatanku. Suara kau menangis juga lama-lama hilang dan
berganti sunyi.
Komentar
Posting Komentar