Langsung ke konten utama

Rindu

Pagi ini, cuaca sangat terik. Rasanya kaki sangat berat melangkah ke tengah lapangan untuk mengikuti upacara bendera. Tapi seluruh siswa sudah berkumpul dan berbaris dengan rapih.

"Ayo." Seseorang menggenggam telapak tanganku, membawaku masuk ke dalam barisan.

Dia Alena, kami duduk sebangku di kelas.

"Lo di depan," katanya sambil sedikit mendorong bahuku.

"Tap-pi," raguku.

Biasanya kalau baris-berbaris aku memang selalu berada di paling depan. Selain postur tubuhku yang mungil, aku juga lebih suka di depan karena bisa melihat jalannya upacara dengan jelas.

Tapi tidak untuk hari ini. Rasanya berbeda, tubuhku seperti menolak untuk berada di paling depan.

"Maaf, tapi gue kedua aja deh," pintaku pada teman yang berada di belakangku.

Untung saja temanku itu menurut, ia langsung mengubah posisi berdiri di hadapanku, dan aku bergegas mundur.

Alena menatapku bingung. Entahlah, aku merasa ada yang berbeda dengan tubuhku hari ini.

"Udah sarapan belom woy?" bisik seseorang dari barisan sampingku, dia Alena.

Tunggu, kenapa bisa ada di sampingku? Bukannya dia di belakangku?

"Lo pucet banget deh, nunduk mulu lagi, nyari duit?" candanya yang berhasil membuatku menarik kedua ujung bibirku.

"Gak lucu sumpah! Upacara udah dimulai, jangan ngobrol," kataku. Ia terkekeh sambil memukul lenganku.

Aku berusaha mengikuti upacara dengan baik, sampai mc membacakan, "Amanat pembina upacara, pasukan diistirahatkan."

Seketika tubuhku terasa lemas, pandanganku mulai buram. Aku menarik ujung lengan teman yang ada di depanku, lalu berkata, "Gue mau pingsan."

Mendengar itu ia langsung panik, dan berbalik arah menghadapku. "Serius?"

Aku mengangguk, tapi tak lama aku tersungkur ke depan. Untung saja ia dengan sigap segera menangkapku, kalau tidak entahlah apa yang terjadi.

Walaupun mataku sulit terbuka tapi aku tetap mendengar suara-suara dari sekitarku. Suara panik dan heboh Alena, dan teman-temanku yang lain. Aku segera dibawa bersama 4 orang temanku yang perempuan.

"Odi, Odi."

Banyak orang memanggil namaku. Aku mendengar mereka, tapi suara mereka terdengar jauh. Aku juga tidak dapat membalas panggilan mereka, sulit sekali bersuara. Apalagi membuka mata. Sangat lengket, seperti tertimpa banyak lem.

"Buatin teh hangat," ujar seseorang. Sepertinya saat ini aku sudah berada di UKS. "Udah makan belum Melodi ini?"

"Kurang tau Bu, tadi saya sempat tanya. Tapi tidak dijawab," jawab Alena.

"Iyalah gak dijawab, lagi pingsan kok ditanya?" Orang lain ikut menyambar.

"Maksudnya tadi sebelum dia pingsan. Soalnya saya sudah liat dia pucat wajahnya," eluh Alena.

Aroma-aroma minyak angin sangat menusuk indra penciumanku. Hangatnya juga terasa di kulitku.

Aku direbahkan di kasur UKS, aku ingin sekali membuka mata, tapi benar-benar sulit.

Waktu tidak pernah berhenti, dan terus bergerak. Upacara tetap berjalan dengan semestinya. Aku dan Alena masih berada di dalam UKS sampai upacara selesai. Karena aku masih belum sadar.

Setelah aku tersadar dan berhasil membuka mataku, aku melihat Alena bersandar di dinding UKS dekat dari kasurku, ia sedang membaca Al-Qur'an.

"Alen," panggilku lirih.

"Masyaallah," kejutnya. Ia segera menutup Al-Qurannya dan menaruhnya di atas nakas dengan baik. "Gue sepanjang lo pingsan terus baca Qur'an."

"Kenapa?" tanyaku.

"Takut lo kesambet, kan di atas kita tadi pohon kelapa."

Dasar, dia pikir aku kesambet? Alena, Alena, kalau bukan temanku, sudah aku musnahkan dirimu.

Aku memegang kepalaku, terasa amat pusing. Perutku juga mual.

"Lo udah makan belum sih? Harus dijawab! Jangan ngeles mulu, ngeles mulu gak pinter-pinter, huh," sambatnya.

Aku memutar bola mataku malas. "Heh dasar, siapa yang ngeles? Bayar SPP aja nunggak."

Kami berdua saling tertawa dengan kerecehan humor kami yang sangat kompak. Tidak lucu ya? Maaf sekadar mengingatkan tapi bagi kami itu lucu, hehe.

"Udah belom?"

"Main petak umpet?"

"Melodi Amanda!"

Aku terkekeh mendengar Alena memanggil lengkap namaku. "Baiklah, baiklah, maaf. Gue belom sarapan."

Tatapan horror milik Alena membuatku berhasil menelan saliva. "Len, Alen. Guee, tapi gue, tadi makan pie."

"Lo lupa? Lo itu punya Maag akut, gak boleh gak sarapan!" omelnya.

Alena memang mirip Ibuku, entahlah dia seperti rengkarnasi Ibuku muda.

"Bentar." Ia melangkahkan kakinya keluar UKS.

"Eh, kok gue ditinggal sendirian?" teriakku.

UKS yang sepi berhasil membuat bulu kudukku berdiri, aku kembali merebahkan tubuhku, dan menutup seluruh tubuhku dengan selimut.

Maaf sekadar mengingatkan, aku ini penakut hehe. Tapi suka nonton film horror, soalnya aku ini orangnya penasaran.

Tapi pasti kalian bisa menebaknya, aku menonton dengan kondisi wajah yang ditutupi telapak tangan, atau sambil setengah terpejam.

Karena biasanya kalau aku menonton film horror bersama temanku, mereka suka iseng. Tanganku dua-duanya dipegangin, sengaja katanya biar aku menatap seluruh layarnya.

Hehe tapi mereka salah besar. Walaupun tanganku dipegangi, tetap saja mataku bisa terpejam dan sedikit terbuka. Masa iya mereka masih tega dengan memegangi mataku agar terus terbuka? Tidak mungkin bukan?

"Eh, lo ngapain ngumpet dibalik selimut?" Alena menarik selimutku.

Spontan aku terduduk. "Salam dulu seharusnya."

"Assalamualaikum Melodi, gue bawa makanan berat buat lo, dimakan yak," ujarnya.

Aku terkekeh mendengarnya. "Wa'alaikumussalam Alen, Makasih yak, perhatian banget sih lo?"

"Makanya lo jangan jomblo, biar diperhatiin sama orang lain bukan sama gue."

"Lah bukannya kita bikin grup berdua? Jomblo Fisabilillah?"

"Mana ada grup berdua dodol!" protesnya.

Lalu kami tertawa garing bersama, dasar selera humor yang sangat rendah, hahaha.

Aku tersenyum. Tak terasa pipiku basah. Kalau mengingat masa-masa itu memang sangat mengharukan. Persahabatan kami, sangat begitu tidak bisa dijelaskan dengan caption instagram. Kalaupun dibuatkan cerita pasti jadi novel paling tebal sejagat raya, hehe.

Aku mengusap pipiku, menarik nafas dalam-dalam.

"Maaf Alena, gue nangis. Cengeng banget ya," kataku di depan sebuah batu nisan bertuliskan Alena binti Pulan.

Semoga saja persahabatan kami sampai ke Surganya Allah ya Alena. Aku menyayangimu sahabatku. Aku merindukanmu. Semoga engkau ditempatkan di sisi terbaik Allah. Jangan lupa sebut namaku saat aku tidak ada di Surga bersamamu. Jangan lupa untuk mengingatkanku jika aku lalai ya Alena. Semoga aku selalu taat, dan kita bisa bertemu di Surga.

Aku selalu mendoakanmu ketika rindu, sebisa mungkin ridak mengeluarkan air mata. Tapi aku wanita biasa yang sangat murah air mata, maafkan aku ya Alena. Aku akan mengikhlaskanmu.

"Alen, besok gue Walimatul Ursy. Gue bakal ceritain ke suami gue nanti, kalo lo adalah sahabat terbaik gue sepanjang masaaa. Dia harus berterimakasih sama lo, karena lo udah berhasil masuk ke kehidupan gue dan menambah banyak warna di hari-hari gue melalui persahabatan kita."

***

Fyi: Cerita ini hasil request dari Wafa Shofura (teman sekelasku di smk)  hehe

Komentar

  1. Sad girl 😭😭😭 ini kisah nyata bukan sih?

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Not Fine.

     Sudah satu minggu sikapmu berubah menjadi  dingin dengan sangat tiba-tiba. Akhir-akhir ini kamu memang sering menghabiskan waktu bersama dengan temanmu, dibanding denganku. Aku menjadi khawatir, biasanya kamu tidak bersikap begini, kamu selalu ceria dan humoris.     Aku sebenarnya takut, takut hubungan kita berakhir. Tapi sikap dinginmu benar-benar membuatku bingung, membuatku sedih dan sakit. Seperti saat ini ketika aku duduk di hadapanmu dan kamu justru menatapku dengan dingin. Bahkan menurutku segelas cangkir americano yang kini sedang kamu aduk dengan sendok lebih menarik daripada aku.     "Kamu lagi ada masalah?" tanyaku dengan tatapan nanar.     Kamu menggelengkan kepalamu dan tersenyum. Senyumanmu sangat dingin dan kaku. Aku melihat kamu berbeda, sudah tidak lagi seperti dulu. Aku benar-benar bingung harus bersikap seperti apa sekarang.  Kamu tidak baik-baik saja, kamu menyimpan rahasia dariku, ya? Ada yang kamu sembunyi...

Asing

 "Andre, kamu liat kacamata aku gak?" tanya seorang wanita dengan panik, sambil menutup pintu mobil. Dia menyapu pandangannya ke seluruh sisi mobil, beberapa kali melihat ke kursi belakang, berharap dapat menemukan kacamata yang dicarinya itu. Sedangkan seorang pria yang sedang duduk di balik kursi pengemudi hanya tertawa kecil sambil terus melihat ke layar ponselnya. "Kamu kok malah cengengesan sih? Bukannya bantuin, malah main hp terus," protes wanita itu. Pria itu tiba-tiba menyentuh puncak kepala wanitanya. "Kacamata di kepala aja lupa," ucapnya sambil menurunkan kacamata yang sedari tadi bertengger di kepala wanita itu. Wanita itu terkejut dan tertawa, "Hahaha, sumpah kok aku gak sadar ya?" Dia melihat dirinya di pantulan kaca spion mobil. "Kebiasaan kamu kan, pelupa." Wanita itu tersenyum lebar menatap pria di sampingnya, Pria itu membalas senyumannya sambil menatap dalam mata indah wanita cantik itu. "Dre?" seseorang me...

Selamat ya, kamu hebat!

      Hari ulang tahun adalah hari yang ditunggu semua orang. Apalagi kalau orang itu memiliki banyak teman di sekitarnya. Seperti aku, aku adalah pengurus OSIS di SMA ku. Dan hari ini, tanggal 16 Januari aku berulang tahun. Aku senang karena aku memiliki banyak teman, aku juga senang karena memiliki seorang kekasih yang sangat peduli padaku. Sikapnya yang dingin kepada semua orang itu tidak berlaku untukku. Setiap hari ia selalu menggenggam tanganku, bertanya bagaimana perasaanku hari itu, apa saja hal yang menarik yang terjadi pada hari itu.     Jam dinding di ruang OSIS menunjukkan pukul 5 sore. Aku masih menunggu dia disini sampai dia menyelesaikan kelasnya. Teman-temanku yang lain sudah pamit setelah memberiku kejutan istimewa. Aku menatap layar ponselku, membuka kuncinya, mematikan layarnya, membuka kuncinya lagi, mematikan layarnya lagi, berulang-ulang entah sampai berapa kali. Aku menunggu pesan darinya.     Kini jam sudah menunjukkan pukul 6 s...